Sabtu, 18 Februari 2012

Hukum Berkhitan Bagi Laki-laki dan Perempuan

    Pertanyaan:    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana hukum berkhitan bagi laki-laki dan perempuan?"
    Jawaban:
  Hukum berkhitan masih dalam perselisihan ulama, namun yang paling dekat dengan kebenaran adalah bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, dan letak perbedaan antara keduanya adalah khitan bagi laki-laki memiliki kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu thaharah, karena jika qulfah (ujung kemaluan) itu dibiarkan, maka kencing yang keluar dari qulfah tersebut sisa-sisanya akan tertinggal disitu dan terkumpullah air di qulfah tersebut sehingga bisa menyebabkan rasa sakit waktu kencing. Atau dengan adanya qulfah yang belum dipotong, maka bila ada sesuatu keluar darinya, qulfah itu akan bernajis.

    Sedangkan bagi perempuan, berkhitan hanya merupakan tujuan yang di dalamnya terdapat faedah, yaitu untuk mengurangi syahwat, ini adalah tuntunan terkait dengan kesempurnaan, bukan untuk menghilangkan rasa sakit.
     Para ulama telah mensyaratkan tentang kewajiban berkhitan selama dia itu tidak takut terhadap dirinya, karena jika ia khawatir atas dirinya berupa kebinasaan atau sakit, maka hukumnya tidak wajib, karena kewajiban itu tidak menjadi wajib dengan adanya sesuatu yang tidak mampu dilaksanakan (udzur syar'i), atau karena takut akan ada kerusakan atau ada bahaya.
      Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang wajibnya berkhitan bagi laki-laki sebagai berikut.
     Pertama, hal itu terdapat dalam banyak hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berkhitan bagi orang yang masuk Islam. (Musnad Imam Ahmad 3/415) sedang asal sesuatu perintah itu wajib.
     Kedua, khitan berfungsi untuk membedakan antara kaum muslimin dan nashrani, sehingga kaum muslimin mengetahui mereka untuk dibunuh di medan perang, mereka berkata : khitan merupakan pembeda, jadi jika khitan itu merupakan pemdeda. maka hukumnya wajib, karena adanya kewajiban perbedaan antara kaum muslimin dan orang kafir, dan dalam hal ini haram menyerupai orang-orang kafir, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
     "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu". (HR. Abu Daud no. 4031 dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah 1/676)
     Ketiga, bahwa khitan adalah memotong sesuatu dari badan, sedangkan memotong sesuatu dari badan itu hukumnya haram, padahal haram itu sendiri tidak boleh dilaksanakan kecuali adanya sesuatu yang wajib, maka dengan demikian khitan itu statusnya menjadi wajib.
      Keempat, bahwa khitan itu harus dilaksanakan oleh walinya anak yatim dan harus melibatkan anak yatim dan hartanya, karena orang yang mengkhitan itu akan diberi upah seadainya khitan ini tidak wajib maka tidak boleh mempergunakan harta dan badan, ini adalah alasan ma'tsur dan logis yang menunjukkan atas wajibnya berkhitan bagi laki-laki.
      Sedangkan bagi perempuan tentang wajibnya khitan masih dalam perbedaan pendapat, namun pendapat yang sudah jelas adalah bahwa khitan wajib bagi laki-laki bukan perempuan, di sana ada hadits dhaif yang berbunya : "khitan itu sunnah yang menjadi kewajiban bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan" [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 5/75] seandainya hadits ini benar, maka hadits ini menjadi pemutus hukum tersebut.
       Rujukan:     Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, hal 258-269 Pustaka Arafah. Sebagaimana dimuat dalam Almanhaj.or.id
      Diedit dan disempurnakan oleh Regin Iqbal Mareza
      Artikel Majmu’ Fatawa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar