Senin, 04 Juli 2011

Apakah Berciuman Suami Istri Membatalkan Wudhu?


Pertanyaan:
Suami saya selalu mencium saya bila akan berangkat ke luar rumah, bahkan bila hendak keluar menuju masjid. Terkadang, saya merasa dia mencium saya dalam kondisi bernafsu; apa hukum syariat mengenai status wudhunya?
Jawaban:
Dari Aisyah –radhiallaahuanha- bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium salah seorang isteri beliau, kemudian keluar untuk melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi. (Sunan Abu Daud, kitab ath-Thaharah (178-180); Sunan at-Tirmidzi, kitab ath-Thaharah (86); Sunan an-Nasa'i, kitab ath-Thaharah, Jilid I (104); Sunan Ibnu Majah, kitab ath-Thaharah (502)).

Hadits ini menjelaskan hukum tentang menyentuh wanita dan menciumnya (bagi suami penj.); apakah membatalkan wudhu atau tidak? Para ulama -rahimahullah- berbeda pendapat mengenainya:
  • Ada pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wduhu dalam kondisi apapun.
  • Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat, membatalkan wudhu dan jika tidak, maka tidak membatalkan.
  • Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak (sama sekali), dan inilah pendapat yang rajih (kuat).
Yang dimaksud, bahwa seorang suami bila mencium isterinya, menyentuh tangannya atau menggenggamnya sementara tidak menyebabkannya keluar mani dan dia belum berhadats maka wudhunya tidak rusak (batal) baik baginya ataupun bagi isterinya. Hal ini dikarenakan hukum asalnya adalah wudhu tetap berlaku seperti sediakala hingga didapati dalil yang menyatakan bahwa wudhu' tersebut sudah batal. Padahal tidak terdapat dalil, baik di dalam kitabullah maupun sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu.
Maka berdasarkan hal ini, menyentuh wanita meskipun tanpa pelapis, dengan nafsu syahwat, menciumnya dan menggenggamnya; semua ini tidak membatalkan wudhu.
Wallahu a'lam.
Rujukan:
Kumpulan Fatwa-Fatwa Seputar Wanita dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 20. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal. 169-170, Penerbit Darul Haq. Dengan pengeditan seperlunya tanpa mengubah esensi dan makna oleh Abu Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar