Selasa, 25 September 2012

Apakah Mencium Istri Membatalkan Wudhu?


Pertanyaan:
Suami saya selalu mencium saya bila akan berangkat ke luar rumah, bahkan bila hendak keluar menuju masjid. Terkadang, saya merasa dia mencium saya dalam kondisi bernafsu; apa hukum syariat mengenai status wudhunya?
Jawaban:
Dari Aisyah –radhiallaahhu anha- bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium salah seorang isteri beliau, kemudian keluar untuk melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi. (Sunan Abu Daud, kitab Ath Thaharah (178-180); Sunan At Tirmidzi, kitab Ath Thaharah (86); Sunan An Nasa'i, kitab Ath Thaharah, Jilid I (104); Sunan Ibnu Majah, kitab Ath Thaharah (502)).
Hadits ini menjelaskan hukum tentang menyentuh wanita dan menciumnya (bagi suami penj.); apakah membatalkan wudhu atau tidak? Para ulama -rohimahullah- berbeda pendapat mengenainya:

Sabtu, 18 Februari 2012

Hukum Berkhitan Bagi Laki-laki dan Perempuan

    Pertanyaan:    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana hukum berkhitan bagi laki-laki dan perempuan?"
    Jawaban:
  Hukum berkhitan masih dalam perselisihan ulama, namun yang paling dekat dengan kebenaran adalah bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, dan letak perbedaan antara keduanya adalah khitan bagi laki-laki memiliki kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu thaharah, karena jika qulfah (ujung kemaluan) itu dibiarkan, maka kencing yang keluar dari qulfah tersebut sisa-sisanya akan tertinggal disitu dan terkumpullah air di qulfah tersebut sehingga bisa menyebabkan rasa sakit waktu kencing. Atau dengan adanya qulfah yang belum dipotong, maka bila ada sesuatu keluar darinya, qulfah itu akan bernajis.

Merusak Berarti Membeli?

      Pertanyaan:
     Segala puji hanya untuk Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, wa badu: Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buh'ts Al-llmiyyah wal-Ifta telah mengkaji surat yang ditujukan kepada Samahatusy Syaikh, yang mulia, Mufti Umum. Surat tersebut dilayangkan oleh pengaju fatwa, bernama Dr. Abdul Muhsin ad-Dawud. Surat tersebut telah diteruskan kepada Al-Lajnah dari sekretariat umum Haiah Kibaril Ulama (Persatuan Ulama-Ulama Besar), No.3577, tanggal 17-8-1415 H. Yang bersangkutan mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Apa hukum syariat terhadap tulisan berbunyi "Barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan atau ditukar!" yang ditulis oleh sebagian pemilik pusat-pusat perbelanjaan pada kuintansi yang mereka berikan. Apakah syarat semacam ini boleh menurut syariat? Dan apa pula nasehat yang mulia, samahatusy Syaikh seputar masalah ini?